Halaman

Jumat, 18 Desember 2015

Analisis DNA Jaringan Lunak Manusia yang Terpapar Formalin dalam
Interval Waktu 1 Bulan Selama 6 Bulan pada Lokus D13S317 dengan Metode
STR-PCR
(The Analyze of Human DNA Soft Tissue that Contaminated Formalin During
1 Month and 6 Month at Locus D13S317 using STR-PCR)
Arlene Kusumadewi *, Soekry Erfan Kusuma**, Ahmad Yudianto**

Dalam bidang forensik dikenal istilah jenasah terlantar. Arti istilah jenasah terlantar itu sendiri adalah jenasah seseorang tanpa keluarga atau ahli waris yang tidak teridentifikasi keluarganya setelah 2 × 24 jam. Keberadaan jenasah terlantar menjadi hal yang menarik untuk dikaji, terutama bila menyangkut persoalan yang berhubungan dengan hukum seperti persoalan warisan, atau jenasah yang diduga merupakan korban pada aksi kriminal.
Pada jenasah terlantar yang relatif masih utuh, sesuai prosedur yang ada dapat diserahkan pada pihak pendidikan kedokteran setelah 3 bulan terhitung sejak belum adanya pihak keluarga yang mengakui jenasah tersebut. Walaupun telah diserahkan di institusi pendidikan kedokteran, jenasah tidak boleh dijadikan bahan praktikum bagi kepentingan mahasiswa kedokteran sampai jangka waktu 6 bulan, sambil menunggu pihak keluarga yang  sambil menunggu pihak keluarga yang kemungkinan akan datang, sehingga pihak Fakultas Kedokteran tetap harus melakukan pengawetan terhadap jasad jenasah tersebut.
Pengawetan jenasah bertujuan untuk mencegah pembusukan. Mekanisme pembusukan disebabkan karena autolisis yakni tubuh mempunyai enzim yang setelah mati dapat merusak tubuh sendiri. Selain itu pengawetan diperlukan untuk menghambat aktivitas kuman. Salah satu metode pengawetan jenasah yaitu dengan injeksi formalin yang disebut dengan metode konvensional yang mempunyai kelebihan yaitu jenasah dapat digunakan dalam jangka panjang.
Sampai saat ini belum ada penelitian yang mengungkapkan analisis DNA dari sampel jenasah terlantar yang terpapar formalin sampai dengan 6 bulan, sesuai dengan prosedur yang ada di laboratorium anatomi yang menyimpan jenasah terlantar dari pihak rumah sakit, jika dalam jangka waktu 6 bulan ada pihak keluarga yang datang, maka jenasah dapat diserahkan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis jaringan lunak manusia yang telah dilakukan pengawetan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan terhadap DNA-nya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memecahkan berbagai kasus forensik yang melibatkan pemeriksaan DNA dengan spesimen yang terdegradasi akibat formalin.
Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratoris dengan sampel DNA inti yang berasal dari jaringan lunak manusia bagian muskulus psoas mayor yang diambil dari satu jenasah terlantar di Instalasi Ilmu Kedokteran Forensik RSUD Dr Soetomo Surabaya dengan kriteria secara makroskopis tidak menampakkan tanda pembusukan.

Pengaruh waktu paparan formalin terhadap DNA jaringan lunak manusia secara bermakna dapat diketahui dengan uji one way ANOVA. Penelitian ini memperoleh hasil uji statistik dengan uji one way ANOVA, diperoleh hasil p = 0,000 (p < 0,05) yang berarti “paling tidak terdapat perbedaan kadar DNA yang bermakna pada dua waktu paparan. Dilanjutkan dengan analisis Post Hoc untuk mengetahui waktu paparan mana yang terdapat perbedaan bermakna, mendapatkan hasil: semua waktu paparan dengan waktu paparan yang lain p = 0,000 (p < 0,05), kecuali waktu paparan 1 bulan dengan 2 bulan p = 0,081.

Grafik 1. Penurunan rerata kadar DNA jaringan lunak manusia yang terpapar formalin                      interval waktu 1 bulan sampai 6 bulan.
Hasil analisis menunjukkan semakin lama waktu paparan formalin yang diberikan pada sampel jaringan lunak manusia, maka terdapat kecenderungan kadar DNA yang semakin menurun tetapi masih berada pada nilai ambang minimal kadar DNA yang dibutuhkan pada pemeriksaan Short Tandem Repeat (STR).


Pada uji one way ANOVA diperoleh nilai p = 0,000 yang berarti paling tidak terdapat perbedaan kadar DNA yang bermakna pada dua waktu paparan. Untuk mengetahui waktu paparan mana yang terdapat perbedaan bermakna, maka dilakukan analisis Post Hoc.
Hasil analisis Post Hoc pada tabel 2 menunjukkan hasil p < 0,05, kecuali waktu paparan 1 bulan dengan 2 bulan p = 0,081. Sehingga dapat diambil kesimpulan terdapat perbedaan kadar DNA secara bermakna pada semua waktu paparan kecuali waktu paparan 1 bulan dengan 2 bulan.
Hasil visualisasi DNA dianalisis secara deskriptif, yakni dengan melihat ada tidaknya gambaran pita atau band sesuai dengan ukuran produk PCR (base pair) masing-masing lokus dan setingkat dengan kontrol positif yang berasal dari jaringan lunak muskulus psoas mayor jenasah tersebut tanpa paparan formalin. Hasil visualisasi DNA jaringan lunak manusia yang terpapar formalin interval 1 bulan selama 6 bulan pada lokus D13S317 dalam penelitian ini dapat terdeteksi. Hal ini membuktikan bahwa lokus D13S317 merupakan lokus yang potensial untuk identifikasi forensik. Penurunan kadar DNA pada jaringan lunak manusia yang terpapar formalin tersebut tidak menimbulkan efek yang berarti, yang menyebabkan DNA jaringan lunak manusia tersebut kehilangan kemampuannya sebagai bahan identifikasi DNA forensik.
Tabel di atas menunjukkan bahwa seluruh sampel DNA jaringan lunak manusia yang terpapar formalin interval 1 bulan selama 6 bulan masih dapat terdeteksi dengan baik dengan pemeriksaan Short Tandem Repeat (STR) lokus D13S317. Ukuran produk PCR (bp) untuk lokus D13S317 adalah 193-237 bp.
Kemurnian DNA menjadi persyaratan dalam pemeriksaan Polimerase Chain Reaction (PCR) dimana kemurnian DNA 1-2 (ideal 1,8-2) memungkinkan dilakukan amplifikasi. Penelitian ini mendapatkan hasil kadar DNA yaitu berkisar 30.333-1127 dan kemurnian DNA berkisar 1.076-1.988. Dengan demikian kemurnian DNA yang didapat sudah bagus dan memungkinkan untuk dipergunakan dalam amplifikasi PCR.
Pada penelitian ini didapatkan penurunan kadar tetapi masih berada pada nilai ambang minimal kadar DNA yang dibutuhkan pada pemeriksaan Short Tandem Repeat (STR) dimana didapatkan rerata kadar DNA berurutan interval 1 bulan selama 6 bulan: 109.099 µg/ml, 119.498 µg/ml, 79.333 µg/ml, 56.292 µg/ml, 44.333 µg/ml dan 32.054 µg/ml.
Simpulan hasil penelitian:
1.      Ada pengaruh paparan formalin dengan interval waktu 1 bulan selama 6 bulan terhadap kadar DNA jaringan lunak manusia (p = 0,000, p < 0,05), yakni semakin lama waktu paparan formalin yang diberikan maka pula kadar DNA yang ada.
2.      Tidak ada pengaruh paparan formalin dengan interval waktu 1 bulan selama 6 bulan terhadap DNA jaringan lunak manusia pada lokus D13S317 dengan metode STR PCR. Hasil visualisasi DNA semua dapat terdeteksi.

KEANEKARAGAMAN JENIS HERPETOFAUNA DI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA BERDASARKAN TIPE HABITAT

KEANEKARAGAMAN JENIS HERPETOFAUNA DI FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA BERDASARKAN TIPE HABITAT

Mega Tri Asih, Ranny Cahyati, Indrie Dwi Andarwati
Jurusan Biologi – FMIPA Universitas Negeri Surabaya

ABSTRAK
Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya memiliki lingkungan yang cukup baik karena terletak pada bagian depan pintu gerbang utama Universitas Negeri Surabaya yang terdapat area taman dan kolam pada lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum UNESA. Pada daerah tersebut memiliki potensi adanya keanekaragaman jenis herpetofauna yang bervariasi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan keanekaragaman herpetofauna dan menghitung indeks keanekaragaman herpetofauna berdasarkan tipe habitat di Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian dengan metode survei perjumpaan visual/ VES (Visual Encounter Survey) yang dikombinasikan dengan sistem jalur transek sampling. Penelitian ini dilaksanakan di Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya. Selama bulan bulan oktober hingga november 2015 dengan empat  kali pengamatan. Kelompok herpetofauna yang ditemui sebanyak 20 individu dari enam spesies. Kelompok herpetofauna  paling banyak ditemui pada jalur terestrial, yang ditunjukkan dari perhitungan indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener sebesar 1,19008(1<H’< 3) dengan indeks keanekaragaman yang stabil. Hal tersebut disebabkan karena masih banyaknya lahan terbuka yang menjadi habitat kelompok herpetofauna baik Amphibia maupun Reptilia.
Kata Kunci : Herpetofauna, indeks keanekargaman, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum

PENGANTAR
Keanekaragaman hayati Indonesia sangat melimpah. Salah satu potensi keanekaragaman hayati yaitu herpetofauna. Secara keseluruhan terdapat 600 jenis herpetofauna di Indonesia (Bappenas, 1993). Reptil dan amfibi termasuk dalam kelompok herpetofauna. Reptil memiliki tingkat endemisitas yang tinggi, sekitar 150 jenis reptil tergolong endemic (WCMC, 1992). Terdapat 7427 jenis reptile di dunia  (Obst, 1998), dan 600 jenis terdapat di Indonesia (WCMC, 1992). Secara biologis Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang sangat kaya dengan keanekaragaman hayatinya.  Pada abad  ke-19 Pulau  Jawa telah menarik perhatian ahli biologi sehingga fauna Jawa sudah cukup dikenal pada abad ke-20 (Iskandar 1998). Di Pulau Jawa jumlah reptil yang tercatat, yaitu 173 jenis dan  8% di antaranya adalah endemik Pulau Jawa (Indrawan, 2007). Sedangkan jumlah amfibi yang pernah  tercatat di Pulau Jawa terdapat 57 jenis (Iskandar, 2000).
Habitat kelompok hewan herpetofauna yaitu amfibia dan reptilia menempati habitat yang hampir sama, yakni dapat dijumpai pada sungai-sungai besar atau kecil, kolam air, kayu lapuk, kubangan, akar banir dan serasah daun. Terdapat penggolongan hewan amfibi dan reptil berdasar tempat ditemukannya yaitu: 1) akuatik, kelompok hewan yang sepanjang hidupnya terdapat di perairan. 2) arboreal, hewan yang hidup di atas pohon. 3) terrestrial, kelompok hewan yang sepanjang hidupnya di atas permukaan tanah. 4) fossorial, hewan yang hidup dalam lubang-lubang tanah (Mistar 2003; 2008)
Lingkungan kampus UNESA Ketintang khususnya Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum dterdapat beberapa jenis hewan.  Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum terletak pada bagian depan pintu gerbang utama Universitas Negeri Surabaya. Terdapat area taman dan kolam pada lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum UNESA. Pada daerah tersebut memiliki potensi adanya keanekaragaman jenis herpetofauna.
Pada umumnya herpetofauna tidak banyak dikenal, baik dari segi taksonomi, ciri-ciri biologi maupun ciri-ciri ekologinya dan daerah penyebaran suatu jenis sangat sedikit diketahui (Iskandar, 2006). Oleh karena itu penelitian tentang keanekaragaman herpetofauna memiliki peranan penting dalam studi di bidang biologi terutama kajian taksonomi. Penelitian yang dilakukan berujung pada keselarasan antara manusia dengan ekosistemnya dan lingkungan di sekitarnya yang sekaligus menjadi habitat bagi mahluk hidup lainnya. Selain itu pengetahuan tentang jenis-jenis fauna yang terdapat pada area tertentu merupakan kunci untuk memahami keanekaragaman hayati yang ada (Das,1997).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan keanekaragaman herpetofauna dan menghitung indeks keanekaragaman herpetofauna berdasarkan tipe habitat di Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya. Manfaat dari proyek ini adalah dapat mendeskripsikan keanekaragaman herpetofauna yang terdapat di Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya sehingga dapat diketahui jenis-jenis herpetofauna apa saja yang terdapat pada Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya tersebut dan dapat menghitung keanekaragaman jenis herpetofauna berdasarkan tipe habitat di Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya pada  bulan Oktober – November 2015. Metode pengumpulan data menggunakan metode survei perjumpaan visual/ VES (Visual Encounter Survey) yaitu pengambilan jenis satwa berdasarkan penglihatan langsung pada jalur yang telah ditentukan (Heyer, 1994). Dikombinasikan dengan sistem jalur transek sampling yang peletakannya dilakukan secara proposional berdasarkan tipe habitat yaitu akuatik dan terestrial (Kusrini, 2008). Sebelum penangkapan, dilakukan penentuan jalur habitat terestrial dan akuatik, jumlah jalur yang dibuat sebanyak 6 jalur, untuk tipe habitat akuatik dibuat tiga jalur dengan panjang dan lebar mengikuti ukuran kolam, pengamatan dilakukan disepanjang badan kolam. Tipe habitat terrestrial dibuat tiga jalur dengan luas 3 x 3 m, pengamatan dilakukan dengan melihat objek yang tampak, baik di serasah, dasar tanah, pohon, dan lubang-lubang di permukaan tanah.
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian adalah ember, senter, jaring-jaring, kantong plastik. Sasaran dari penelitian ini adalah semua jenis hewan herpetofauna yang ditemukan di sekitar Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, sedangkan objek yang dikaji adalah pengelompokan jenis hewan pada kelas reptilia dan kelas amphibia berdasarkan tingkatan spesies dan perbandingan jumlah anggota pada kelas reptilia dan kelas amphibia.

Pengamatan dilakukan sebanyak empat kali yaitu pada tanggal 13 Oktober, 30 Oktober, 21 November dan 28 November. Pengamatan dilakukan pada siang hari pukul 12.00-14.00 WIB dan malam hari pukul 19.00-21.00 WIB. Tujuan dari langkah pengamatan lapangan ini untuk mendeskripisikan keanekaragaman jenis herpetofauna apa saja yang paling banyak keluar dalam dua waktu yang berbeda berdasarkan tipe habitat. Pengambilan gambar objek amatan yang ditemukan dilakukan dengan menggunakan kamera digital. Identifikasi herpetofauna berdasarkan Systemae 2000 (Brands, S.J, 1989). Tingkat keanekaragaman diukur dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’): 
Keterangan :
ni = Jumlah individu jenis ke-i
N = Jumlah total individu
Ln = logaritme bilangan dasar
Gambar 1. Denah pengambilan sampel data
HASIL
Pada penelitian di Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya dijumpai dua spesies dari kelas amphibia dan empat spesies dari kelas reptilia ( Tabel 1)

Tabel 1. Spesies kelas amphibia dan reptilia yang dijumpai di Fakultas Ilmu Sosisal dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya berdasarkan jalur pengamatan.


Tabel 2. Spesies kelas Amphibia dan Reptilia di Fakultas Ilmu Sosisal dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya dan indeks keanekaragaman (H’)
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan total jumlah individu herpetofauna baik amphibia maupun reptilian yang ditemukan di enam jalur yaitu 3 jalur akuatik dan 3 jalur terestrial pengamatan Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya sebanyak 21 individu dari 6 spesies (tabel 1.)
Hasil data yang diperoleh, bahwa Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum mempunyai keanekaragaman jenis herpetofauna dalam keadaan sedang kestabilannya, hal ini terlihat dari perhitungan Shannon-Wiener (H’) sebesar 1,4556 (tabel 2). Indeks Keanekaragaman Herpetofauna jalur akuatik lingkungan Fakultas Sosial dan Hukum UNESA sebesar 0,5004 yang menunjukkan bahwa keanekaragaman jalur akuatik terbilang rendah. Indeks Keanekaragaman Herpetofauna jalur terestrial lingkungan Fakultas Sosial dan Hukum UNESA sebesar 1,19008 yang menunjukkan bahwa keanekaragaman jalur terestrial terbilang sedang. Menurut Lee et al (1978), kondisi kestabilan suatu kemunitas dibedakan menjadi 3 kriteria berdasarkan indeks H’ tersebut, masing-masing : Jika H’ < 1 , berarti komunitas dalam keadaan tidak stabil, Jika 1<H’< 3, berarti komunitas dalam keadaan sedang kestabilannya, Jika H’ > 3 , berarti komunitas dalam keadaan stabil.
Faktor yang mengakibatkan indeks keanekaragaman dalam keadaan stabil di Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum antara lain karena masih banyaknya lahan terbuka yang menjadi habitat kelompok herpetofauna baik Amphibia maupun Reptilia, seperti area taman dan kolam kolam kecil. Habitat Amphibia dan Reptilia dapat dibagi menjadi dua habitat besar, yaitu akuatik dan terestrial. Habitat akuatik meliputi kolam-kolam dan sungai, sementara habitat terestrial meliputi lantai hutan maupun pepohonan (arboreal). Keanekaragaman habitat akan berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis suatu hewan. Semakin beranekaragam struktur habitat maka semakin besar keanekaragaman jenis hewan, hal ini karena habitat menyediakan sumber daya yang cukup, khususnya sebagai tempat untuk mencari makan, berlindung dan berkembang biak.
Nilai indeks keanekaragaman jenis tertinggi terlihat pada jalur terestrial. Diandingkan dengan jalur akuatik, jalur terestrial merupakan jalur yang memiliki habitat lebih kompleks. Habitat di jalur terestrial terdiri dari area lahan terbuka, taman dan sebagian gedung, sementara jalur akuatik meskipun terletak di kolam-kolam kecil, tetapi habitat ini kurang kompleks dibanding jalur terestrial karena kondisi kolam yang kotor dan tidak pernah di bersihkan. Menurut Magurran (2004) perbedaan ukuran sampel juga dapat mempengaruhi indeks keanekaragaman Shannon-Wiener. Semakin besar ukuran sampel dan jumlah individu, nilai indeks cenderung semakin tinggi.

SIMPULAN
Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum merupakan habitat yang sedang bagi berbagai spesies herpetofauna. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukannya 21 individu dari 6 spesies. Kelompok herpetofauna paling banyak ditemui pada jalur terestrial yang ditunjukkan dari perhitungan indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener sebesar 1,19008 dengan indeks keanekaragaman sedang. Hal tersebut disebabkan karena masih banyaknya lahan terbuka yang menjadi habitat kelompok herpetofauna baik Amphibia maupun Reptilia di Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum UNESA. Adanya lahan terbuka yang disediakan dapat dilihat dari keberadaan beberapa taman yang tersebar di wilayah FISH UNESA.

KEPUSTAKAAN
BAPPENAS. (1993). Biodiversity Action Plan for Indonesia. Final Draf.
Das,I. 1997. Conservation problem of tropical Asia’s most threatened turtle, In: Van Abbema, J. (Ed). Proceeding: Conservation restro-ration and management of tortoise and turtle, 295-308.
Heyer WR, Donnely MA, McDiarmid RV, Hayer LA&Foster MS. (eds). 1994. Measuring and monitoring biological diversity. Standard Methods for Amphibians. Smithsonian Institute Press, Washington DC.
Indrawan, M., R. B. Primack., dan J. Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Iskandar, D. T. 1998. Amfibi Jawa dan Bali. Bogor: Putslitbang Biologi LIPI. Hlm. 132.
Iskandar, D. T. 2000. Kura-kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini. Bandung: Jurusan Biologi,  Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, ITB.
Iskandar, D. T dan W.R. Erdelen. 2006. Conservation of Amfibians and Reptils in Indonesia: Issues and Problems.Amfibi. Reptil Conserv, 4(1): 60–93
Lee, C.D., S.B. Wang & C.L. Kao, 1978, Benthic Macroinvertebrate and Fish as Biological Indicator of Water Quality with Reference to Community Diversity Index. In Quano E.A.R., Developing Countries, The AsianIntitute of Technology, London.
Magurran AE. 2004. Measuring Biological Diversity. USA: Blackwell Publishing Company.
Mistar. 2003. Panduan lapangan amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. The Gibbon Foundation & PILI-NGO Movement. Indonesia.
Obst FJ. 1998. Di dalam: Cogger HG, Zweifel RG, editor. Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. San Fransisco: Fog City Press.
[WCMC] World Conservation Monitoring Centre. 1992.Global Diversity: Status of the Earth's Living Resources.London: Chapman dan Hall
Brands, S.J., 1989. Taxonomicon (online, taxonomicon.taxonomy.nl, diakses pada 4 Desember 2015










PEMATAHAN DORMANSI BIJI SAGA (Abrus precatorius L.) DENGAN TEKNIK SKARIFIKASI

PEMATAHAN DORMANSI BIJI SAGA (Abrus precatorius L.) DENGAN TEKNIK SKARIFIKASI
Deassy Laily Paramita, Devi Nadiya Wijaya, Citra Sri Rahayu, Tryas Ngudi Lestari
Program Studi Pendidikan IPA
Universitas Negeri Surabaya


ABSTRAK
Latar Belakang     : Penanaman benih secara normal tidak menghasilkan perkecambahan atau hanya sedikit perkecambahan. Perlakuan tertentu perlu dilakukan untuk mematahkan dormansi sehingga benih menjadi tanggap terhadap kondisi yang kondusif bagi pertumbuhan. Pada setiap musim tanam masih sering terjadi masalah karena produksi benih bermutu yang belum mencukupi permintaan pengguna/petani. Masalah ini disebabkan oleh adanya satu masa “istirahat” yang dialami oleh benih yang ditanam. Masa istirahat inilah yang kita  sebut dengan dormansi, dormansi menyebabkan tidak adanya pertumbuhan pada biji atau benih walaupun kondisi lingkungan mendukung untuk terjadinya perkecambahan. Pematahan biji dormansi dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya perlakuan mekanis, perlakuan kimia, perendaman dengan air, dan perlakuan dengan cahaya. Penelitian ini membahas pematahan biji secara mekanis yaitu dengan teknik skarifikasi.
Tujuan      : Untuk menyelidiki proses pematahan dormansi biji dengan teknik skarifikasi
Metode     : Dengan menggunakan teknik skarifikasi yaitu mengamplas 10 biji saga sampai endospermnya terlihat namun jangan amplas bagian mikrofilnya sedangkan 10 biji saga yang lain tidak diamplas. Kemudian rendam biji saga yang sudah diamplas dan yang belum diamplas dalam air selama satu jam. Lalu tanam biji saga pada tanah yang telah dicampur pupuk dan pasir. Mengamati proses dormansi biji sampai daun pertama tumbuh selama 10 hari.
Hasil         : Pada penelitian ini, diperoleh bahwa pada hari pertama sampai hari ke-10 biji saga yang tidak diamplas tidak ada yang mengalami perkecambahan walaupun telah direndam air sebelum ditanam di media. Pada biji saga yang diamplas pada hari ke-10 terdapat 9 biji yang berkecambah dari 10 biji yang ditanam. Hal ini menandakan bahwa teknik skarifikasi dengan proses pengamplasan pada biji saga dapat mematahkan dormansi biji saga yang memiliki kulit keras sehingga berpengaruh terhadap cepatnya proses perkecambahan.

Kata Kunci : Biji Saga, Teknik Skarifikasi

ABSTRACT
Background: Planting seeds normally do not produce germination or only slightly germination. Specific treatment needs to be done to break seed dormancy so as to be responsive to conditions conducive to growth. At each planting season is still often a problem for quality seed production is insufficient demand for user / farmer. This problem is caused by the presence of the future "rest" experienced by the seed planted. The rest period is what we call dormancy, dormancy cause the absence of growth in grain or seed despite environmental conditions conducive to the occurrence of germination. Breaking seed dormancy can be done in various ways, including mechanical treatment, chemical treatment, soaking with water, and treated with light. This study discusses mechanically breaking seed is by scarification techniques.
Objective: To investigate the seed dormancy breaking process with scarification techniques
Methods: By using a technique that is sanding the 10 seed scarification saga until endospermnya visible but not sandpaper part saga seeds mikrofilnya while 10 others are not sanded. Then soak the seeds saga that has been sanded and which have not been sanded in water for one hour. Then planting seeds in the soil saga that has been mixed with fertilizer and sand. Observing the process of seed dormancy until the first leaves to grow for 10 days.
Results: In this study, showed that on the first day until the 10th day saga seeds are not sanded none having germination although it has been soaked in water before planting in the media. In the saga seeds were sanded on day 10 there were 9 of 10 seeds were germinated seeds were planted. This indicates that the technique of scarification with a sanding process in the saga seeds can break seed dormancy saga which has a hard skin and therefore contributes to the rapid germination process.

Keywords: Seed Saga, Mechanical scarification

PENDAHULUAN
Dorman artinya tidur atau beristirahat. Para ahli biologi  menggunakan istilah itu untuk tahapan siklus hidup, seperti biji dorman, yang memiliki laju metabolisme yang sangat lambat dan sedang tidak tumbuh dan berkembang. Dormansi pada biji meningkatkan peluang bahwa perkecambahan akan terjadi pada waktu dan tempat yang paling menguntungkan bagi pertumbuhan biji. (Campbell, 2000). Berdasarkan faktor penyebabnya, dormansi dapat dibagi atas dua macam, yaitu Impoised dormancy (quiscense) dan imnate dormancy (rest). Imposed dormancy (quiscence) adalah terhalangnya pertumbuhan aktif karena keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan. Sedangkan imnate dormancy (rest) adalah dormansi yang disebabkan oleh keadaan atau kondisi di dalam organ-organ biji itu sendiri (Dwidjoseputro, 1994). Berdasarkan mekanisme dormansi dalam biji, dormansi dapat dibedakan atas dua macam, yaitu mekanisme fisik dan mekanisme fisiologis. Mekanisme fisik merupakan dormansi yang mekanisme penghambatannya disebabkan oleh organ biji itu sendiri, terbagi menjadi mekanis : embrio tidak berkembang karena dibatasi secara fisik, fisik : penyerapan air terganggu karena kulit biji yang impermeabel, kimia : bagian biji/buah mangandung zat kimia penghambat. Sedangkan mekanisme fisiologis merupakan dormansi yang disebabkan oleh terjadinya hambatan dalam proses fisiologis. (Anonim, 2008).
Penanaman benih secara normal tidak menghasilkan perkecambahan atau hanya sedikit perkecambahan. Perlakuan tertentu perlu dilakukan untuk mematahkan dormansi sehingga benih menjadi tanggap terhadap kondisi yang kondusif bagi pertumbuhan. Pada setiap musim tanam masih sering terjadi masalah karena produksi benih bermutu yang belum mencukupi permintaan pengguna/petani. Masalah ini disebabkan oleh adanya satu masa “istirahat” yang dialami oleh benih yang ditanam. Masa istirahat inilah yang kita  sebut dengan dormansi, dormansi menyebabkan tidak adanya pertumbuhan pada biji atau benih walaupun kondisi lingkungan mendukung untuk terjadinya perkecambahan. Pematahan biji dormansi dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya perlakuan mekanis, perlakuan kimia, perendaman dengan air, dan perlakuan dengan cahaya. Penelitian ini membahas pematahan biji secara mekanis yaitu dengan teknik skarifikasi.
Skarifikasi mencakup cara-cara seperti mengikir atau menggosok kulit biji dengan kertas amplas, melubangi kulit biji dengan pisau, perlakuan impaction (goncangan) untuk benih-benih yang memiliki sumbat gabus. Hal tersebut bertujuan untuk melemahkan kulit biji yang keras sehingga lebih permeabel terhadap air dan gas. Salah satu tanaman yang memiliki biji keras adalah tanaman saga (Abrus precatorius L.). Saga termasuk jenis tumbuhan perdu, dimana daun saga yang berasa manis berkhasiat untuk mengatasi sariawan. Tanaman itu juga mempunyai efektivitas ekspektoran yang memacu sekresi mukrosa dari trakea. Kandungan senyawanya mampu mengeluarkan dahak dan melegakan tenggorokan gatal. Daun saga mempunyai kandungan glycyrrhicic acid yang memiliki sifat menyejukkan kulit dan selaput lendir pada tenggorokan. Sehingga diperlukan teknik untuk mempercepat proses pematahan dormansi biji saga yang berkulit keras ini, salah satunya adalah skarifikasi. Karena tanaman saga sebagai tanaman perdu yang memiliki pohon cukup besar dapat menyejukkan lingkungan sekitar yang selain itu daunnya dapat dimanfaatkan sebaagai obat.

TUJUAN
Adapun tujuan dari kami adalah :
“ Menyelidiki proses pematahan dormansi biji dengan teknik skarifikasi “






METODE PELAKSANAAN

A.    Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Penelitian pematahan dormansi biji saga (Abrus precatorius L.) dilaksanakan di salah satu kediaman anggota kelompok yaitu di Jalan Ketintang Wiyata Surabaya pada Senin, 18 Mei 2015.
Tabel 1. Waktu dan tempat pelaksanaan penelitian pematahan dormansi biji saga (Abrus precatorius L.).

Tahapan Kegiatan
Waktu
Kegiatan
Pengambilan biji saga (Abrus precatorius L.).
Sabtu, 16 Mei 2015 pukul 08.00
Pengambilan biji saga dari pohonnya di lakukan di Fakultas MIPA Kampus Ketintang Universitas Negeri Surabaya.
Pengamplasan biji saga
Sabtu, 16 Mei 2015 pukul 09.00-11.00
Biji saga diamplas dengan kertas amplas sampai kotiledonnya terlihat.
Penanaman biji saga
Selasa, 19 Mei 2015 pukul 18.00
Biji saga yang sudah diamplas di tanam pada media yang berisi tanah yang sudah dicampur dengan tanah dan pupuk.


B.     Alat dan Bahan
a.       Alat
1.      Media percobaan                             2 buah
b.      Bahan
1.      Biji Saga                                          20 biji
2.      Amplas                                             1 lembar
3.      Air                                                    1 L
4.      Pupuk                                               250 gram
5.      Tanah                                               250 gram
6.      Pasir                                                 250 gram        

C.    Langkah Percobaan

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengambil biji saga 20 buah dari pohonnya. Setelah biji saga diperoleh amplas 10 biji saga sampai endospermnya terlihat namun jangan amplas bagian mikrofilnya sedangkan 10 biji saga yang lain tidak diamplas. Kemudian rendam biji saga yang sudah diamplas dan yang belum diamplas dalam air selama satu jam. Lalu tanam biji saga pada tanah yang telah dicampur pupuk dan pasir. Mengamati proses dormansi biji sampai daun pertama tumbuh selama 10 hari.

 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Data hasil penelitian pemecahan dormansi pada biji saga adalah sebagai berikut:

No.
Hari ke-
Jumlah biji yang tumbuh pada tiap perlakuan
Tidak diamplas + direndam selama 1 jam
Diamplas + direndam selama 1 jam
1.
1
-
-
2.
2
-
-
3.
3
-
-
4.
4
-
-
5.
5
-
-
6.
6
-
1
7.
7
-
4
8.
8
-
7
9.
9
-
8
10.
10
-
9

Dari tabel data penelitian yang kami lakukan dapat diketahui bahwa pada biji saga yang tidak diamplas, dari hari pertama sampai hari ke-10 tetap tidak ada biji yang berkecambah, sedangkan pada biji saga yang diamplas terdapat biji saga yang berkecambah.
Pada hari pertama, biji saga yang diamplas belum ada yang tumbuh. Pada hari ke-2 sampai pada hari ke-5 juga masih belum ada biji saga yang berkecambah. Kemudian pada hari ke-6 terdapat terdapat 1 biji saga yang telah berkecambah. Pada hari ke-7 terdapat 4 biji saga yang telah berkecambah. Selanjutnya pada hari ke 8 terdapat 7 biji saga yang berkecambah. Pada hari ke-9 terdapat 8 biji saga yang berkecambah, dan pada hari terakhir atau hari ke-10 terdapat 9 biji saga yang telah berkecambah.
Pembahasan
Dormansi adalah suatu keadaan dimana pertumbuhan tidak dapat/ sulit terjadi walaupun kondisi lingkungan mendukung untuk terjadinya perkecambahan. Dormansi pada biji meningkatkan peluang bahwa perkecambahan akan terjadi pada waktu dan tempat yang paling menguntungkan bagi pertumbuhan biji. Pengakhiran periode dormansi umumnya memerlukan kondisi lingkungan yang tertentu, biji tumbuhan gurun, misalnya hanya berkecambah setelah hujan rintik-rintik yang sedang, tanah mungkin akan terlalu cepat kering sehingga tidak dapat mendukung pertumbuhan biji. (Campbell, 2000)
Dalam penelitian yang kami lakukan, kami memilih biji saga untuk dikecambahkan. Biji saga memiliki kulit biji yang keras, dimana kulit yang keras tersebut dapat menghalangi penyerapan oksigen atau air dari lingkungan, sehingga pemecahan dormansi biji dapat dilakukan pada biji saga. Pada dormansi biji, pemecahan kulit biji yang keras dapat dipecah dilakukan dengan beberapa perlakuan, misalnya perlakuan mekanis, perlakuan kimia, perlakuan dengan perendaman dengan air, dan perlakuan dengan cahaya.
Dan perlakuan yang kami lakukan yaitu perlakuan mekanis dengan cara pengamplasan, dan perlakuan perendaman dengan air. Pengamplasan dilakukan hingga permukaan kulit biji yang keras terkikis dan endosperma biji terlihat, namun tidak boleh sampai mengenai mikropil. Bila endosperm telah terbuka, maka inhibisi akan terjadi dan H2O masuk dan enginduksai GA3 sehingga biji menjadi aktif dan melakukan respirasi untuk menghasilkan energi (ATP) yang digunakan untuk mengakftifkan enzim selulase dan pektinase yang terdapat pada kulit biji yang keras sehingga pematahan dormansi dapat berlangsung dan akhirnya biji dapat berkecambah. Dalam penelitian ini terdapat 10 biji saga yang diamplas dan terdapat 10 biji yang kulitnya dibiarkan saja atau tidak diamplas. Kemudian baik biji saga yang diamplas maupun yang tidak diamplas sama-sama direndam dalam air selama 1 jam. Perendaman biji saga sebelum di tanam berfungsi untuk melisis permukaan kulit biji yang keras agar dapat permeabel terhadap air dan oksigen. Pengangkutan air dan oksigen tersebut dapat menyebabkan biji menjadi aktif dan metabolisme berjalan, misalnya respirasi. Proses respirasi tersebut menghasilkan ATP yang digunakan untuk mengaktifkan enzim-enzim seperti selulase dan pektinase sehingga perkecambahan akan berlangsung. Setelah biji saga direndam dengan air selama 1 jam, biji saga ditanam dalam media tanah dan diletakkan di dalam ruangan atau di tempat dengan kadar intensitas cahaya yang sedikit.
Pada penelitian ini, diperoleh bahwa pada hari pertama sampai hari ke-10 biji saga yang tidak diamplas tidak ada yang mengalami perkecambahan walaupun telah direndam air sebelum ditanam di media. Selain itu, kami juga melakukan penyiraman setiap hari dengan air secukupnya. Penyiraman ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga kondisi lingkungan agar tetap berada dalam kondisi yang baik, yang dapat memungkinkan biji saga untuk berkecambah. Namun, walaupun dilakukan penyiraman secara teratur selama 10 hari, biji saga masih tetap tidak tumbuh. Hal ini dikarenakan biji saga memiliki kulit yang keras, sehingga harus diberikan perlakuan khusus untuk memecahkan dormansi biji saga.  
Sedangkan pada biji saga yang diamplas terdapat biji saga yang dapat berkecambah. Walaupun pada hari pertama sampai pada hari ke- 5 tidak ada biji saga yang brkecambah, tetapi pada hari ke- 6 ada 1 biji saga yang berkecambah. Pada hari ke-7 terdapat 4 biji saga yang telah berkecambah, kemudian pada hari ke-8 terdapat 7 biji saga yang berkecambah, pada hari ke- 9 terdapat 8 biji buah saga yang berkecambah, dan pada hari ke-10 terdapat 9 biji yang berkecambah sehingga dari penelitian selama 10 hari tersebut, terdapat 1 biji saga yang tidak dapat berkecambah. Biji saga yang tidak dapat berkecambah tersebut dapat disebabkan karena beberapa faktor, misalnya pada proses pengamplasan bagian permukaan luar biji saga dimana bidang yang diamplas kurang luas atau kurang lebar, benih biji saga kurang baik, dan mungkin biji saga tersebut sudah busuk di dalam tanah, sehingga faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan biji saga tidak dapat berkecambah seperti biji saga yang lainnya.




















Namun, dari penelitian dormansi biji pada biji saga yang kami lakukan ini dapat dikatakan berhasil, karena dalam waktu 10 hari terdapat 9 biji saga yang diamplas yang dapat berkecambah, tetapi terdapat 1 biji saga yang tidak dapat tumbuh berkecambah. Dan dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa proses pengamplasan memiliki pengaruh terhadap proses perkecambahan. Hal ini dibuktikan dengan data yang kami peroleh selama kegiatan penelitian selama 10 hari, dimana pada biji saga yang tidak diamplas tidak ada yang tumbuh berkecambah, sedangkan pada biji saga yang diamplas terdapat 9 biji saga yang berkecambah dan 1 biji saga yang tidak berkecambah. Adapun grafik perkecambahan biji saga tersebut adalah sebagai berikut:



KESIMPULAN
Pada penelitian ini, diperoleh bahwa pada hari pertama sampai hari ke-10 biji saga yang tidak diamplas tidak ada yang mengalami perkecambahan walaupun telah direndam air sebelum ditanam di media. Pada biji saga yang diamplas pada hari ke-10 terdapat 9 biji yang berkecambah dari 10 biji yang ditanam. Hal ini menandakan bahwa teknik skarifikasi dengan proses pengamplasan pada biji saga dapat mematahkan dormansi biji saga yang memiliki kulit keras sehingga berpengaruh terhadap cepatnya proses perkecambahan.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008.  Dormansi biji (online). (Diakses melalui:  http://www.google.com/elisa.ugm.ac.id/, pada hari rabu, tanggal 27 Mei 2015, pukul 19.36 WIB).
Anonim. 2012. Perkecambahan (online). (Diakses melalui:  http://id.Wikipedia.org/wiki/perkecambahan, pada hari rabu , tanggal 27 Mei 2015, pukul 21.02 WIB).
Campbell, Reece JB, dan Mitchell LG. 2000.  Biologi Edisi Kelima Jilid 2. Erlangga: Jakarta.
Dwidjoseputro. 1994.  Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Goldsworthy FR.dan Fisher. 1992. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. UGM Press: Yogyakarta.
Lita, Sutopo. 1985. Teknologi Benih. Jakarta: Rajawali.
Salisbury, Frank B dan W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. ITB: Bandung.
Tjitrosoma SS. 1984. Botani Umum 3. Angkasa: Bandung.
Tim Dosen. 2015. Panduan Praktikum Mata Kuliah Struktur Fungsi dan Perkembangan Tumbuhan. Laboratorium Pendidikan IPA : Surabaya.